Rabu, 21 November 2012

Suro dalam kalender Jawa



Banyak yang menyangkutkan bulan Suro pada sistem Kalender Jawa sebagai bulan yang mengerikan, banyak pantangan dan serba tabu. Menjadi lebih menyusahkan lagi ketika orang-orang yang tidak memahami kultur Jawa menambah dengan komentar-komentar bikinan sendiri. Andai saja Sultan Agung masih hidup tentu dia merasa kecewa mendengar karyanya disepelekan orang. Terus apakah bulan Suro itu?
Sultan Agung raja besar pada masa Mataram Islam yang ketika itu berdiri di kota Plered, selatan Kotagede, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi, menetapkan tanggal 1 Suro 1555 tahun Jawa yang sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah, sebagai dimulainya perhitungan Kalender Jawa. Diduga angka tahun Jawa 1555 itu berasal dari tahun Saka pada sistem kalender Hindu yang pada tahun itu memang menunjuk tahun 1555 Saka. Eloknya hari dan tanggalnya disamakan dengan hari dan tahun Hijriah pada sistem Kalender Islam. Nama-nama bulan pada Tahun Jawa disesuaikan  dan dibuat beda dengan nama-nama Tahun Hijriyah. Tentu saja disesuaikan dengan ucapan masyarakat Jawa. Urutannya menjadi seperti ini:

1.    Muharram (Tahun Hijriyah) = bulan Suro (Tahun Jawa),
2.    bulan Shafar = Sapar,
3.    bulan Rabi'ul Awal = Maulud,
4.    bulan Rabi'ul Tsani = Bakda Maulud,
5.    bulan Jumadil Ula = Jumadil Awal,
6.    bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akhir,
7.    bulan Rajab = Rejeb,
8.    bulan Sya'ban = Ruwah,
9.    bulan Ramadhan = Pasa,
10.  bulan Syawwal = Sawal,
11.  bulan Dzulqa'dah = Dulkaidah, dan
12.  bulan Dzulhijjah = Besar.
Terus apa hubungannya Suro  dengan bulan mengerikan, bulan tabu dan pantangan?  Tidak bisa dipungkiri kata Suro merujuk pada kata Asyura yang berarti 10. Tanggal 10 Muharam atau Asyura harus dimaknai apa? Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Dua hal yang berbeda tapi disatukan. Karena itu ritual 1 Suro selalu dimaknai dengan  melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran atau tetirah (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral. Semua itu menunjuk pada sikap prihatin dan sedih. Sikap ini untuk mengingat kejadian 10 Muharam ketika terjadi perang Karbala. Ini merujuk pada peristiwa pembantaian keji cucu Rasulullah Saw, yaitu Husein ibn Ali ibn Thalib ra, di mana ia disembelih oleh para pengikut Yazid ibn Muawiyyah (anak dari Muawiyyah sahabat Nabi). Kejadian ini oleh kultur Jawa disimbolkan dengan bubur Suro warna merah. Bubur Suro adalah jenang bubur berwarna dua. Satu merah tanda keberanian seperti keberanian Husein ibn Ali ibn Thalib ra tadi dan  satu lagi warna putih simbol kesucian dari Hasan Ibn Ali kakak dari Husein ibn Ali. Selain itu diduga tari Saman dari Aceh  adalah tari kesedihan, hampir sama dengan budaya “maktam” menepuk-nepuk dada dalam tradisi memperingati kesyahidan cucu Rasulullah, Husein ibn Ali. Bahkan juga, diduga dalam salah satu budaya suku di Papua ada tari khas yang menggambarkan peperangan di padang Karbala.
Apakah itu berarti Islam di Indonesia bernafaskan Syiah? Walahualam bishawab. Hanya Allah yang tahu, yang jelas bulan Suro dari awalnya tidak ada yang aneh-aneh!

                                                                                                               Klik  Kalender Jawa!
 Just Relax!

Jumat, 12 Oktober 2012

Folklor tradisi

Well, kita ketemu lagi setelah lama tidak bertemu. Kali ini anda saya ajak untuk mengenal seni tradisional khususnya budaya Jawa. Keris misalnya, orang Inggris, Belanda maupun Chech menyebutnya Kris. Tentang Keris saat ini hanya seperti dongeng. Setiap orang tahu Keris pernah jaya di zaman kebesaran kerajaan-kerajaan di Jawa. Jangan meremehkan Jawa. sekarang ini penduduknya mencapai 130 juta orang. Ini lebih besar dari penduduk negara Jepang, atau Meksiko, atau Perancis.
Saat ini orang hanya mengenal melalui buku-buku yang ditulis oleh para pecinta budaya, atau melalui cerita para kolektor atau bahkan dikarang sendiri. Orang tertarik pada Keris karena cerita yang menyertainya bukan karena kerisnya itu sendiri. Empu pembuat keris hanya tersisa sedikit bahkan langka adanya, lagi pula mereka tidak pernah bercerita tentang keris, jadi kesimpulannya Keris dalam arti sesungguhnya hanya seperti dongeng menjelang tidur antara ada dan tiada.
Keris yang dijumpai saat ini adalah keris asesoris dibuat mirip bahkan dihiasi dengan emas intan berlian dan secara fisik amat gemerlap bahkan ditatah sangat rapi, tetapi dilihat dari arti Keris yang sesungguhnya Keris sekarang ini hambar tanpa arti sama sekali, tak berbobot. Mungkin anda tidak percaya kalau saya tunjukkan ada catatan kuna tentang bahan pembuat keris terutama besinya. Para ahli keris zaman sekarang sering mencibir tentang besi pembuat keris ini. Coba saja kalau saya sebutkan besi Karang Kijang (apa itu?) atau Mekangkang Jaler dengan warna hijau lumut? atau besi Siyem dari tengah laut yang berasal dari taring ular? Anda pasti bingung. Mungkin para ahli metalurgi bisa menjelaskan.
Besi adalah bukan produk asli bumi. Suatu ketika planet lain menabrak bumi pada saat awal pembentukan planet-planet. Kebetulan planet penabrak ini banyak mengandung besi. Mungkin salah satu pecahan itu masuk kelaut dan jadilah besi taring naga itu. Hebat, besi taring naga ini bersifat panas. Para empu keris faham yang ini.
Keris ini dari zaman Majapahit buatan empu Sedayu, sampai sekarang
besinya masih harum wangi.



                 
Tiga jenis senjata tradisional, keris dengan pola Luk (atas),
Lurus (tengah) dan mata tombak. Semuanya punya ciri khas sendiri.



Secara tradisi Keris dipakai di pinggang belakang, jika
kondisi berbahaya dipakai di depan perut.


Selain senjata jenis tradisi lain adalah tari. Segala sesuatu yang bertema masa lalu dan sekarang masih dilestarikan kita sebut tradisi. Berikut ini adalah beberapa bentuk seni tradisi seperti tari dan pakaiannya.
Dandanan dan pakaian seni tradisionil tari Lengger dari Kabupaten
Banyumas yang dibawakan oleh siswa SMKN 3 Banyumas Jawa Tengah
pada saat Festival Seni Internasional di P4TK SB Yogyakarta 2012



Tari Lengger in action
Goyangan seksi tari Lengger

Pendukung suara tari Lengger di latar belakang,
aktris perempuan itu disebut sinden.



Alat tiup dari bambu ini mengeluarkan suara Bas seperti Gong
pada instrumen gamelan Jawa.

Tais Timor, Timor Leste full asesoris...meriah.
Sebagian dari anggota grup tari "Lita Monteiro" dari Timor Leste.
Kombinasi dari Portuguese dance dan tradisi Timor Leste.
Lihat saja garis selendangnya.

Kalau tadi mengenai pakaian dan tari tradisional, ada juga tari dan tradisi yang berasal dari masa lalu yang berlatar belakang sejarah. Misalnya tari Soreng dari Temanggung Jawa Tengah. Tari Soreng mengambarkan latihan perang para prajurit pada masa lalu. Sekedar tahu saja, Temangung dan sekitarnya banyak ditemukan situs-situs kerajaan Mataram kuna. Diduga kerajaan Kalingga (sekitar abad 6M) dan ratu Simha yang adil berada disitu.
Pada seni tradisi lama selalu ada Buto yang tampil. Ini adalah lambang
disharmoni kehidupan. Gen Buto bisa hinggap pada siapa saja dan menimbulkan
ketidak harmonisan. Sesuai namanya tarian nya menarik dan agresif.

"Wuaah...ha...ha...ha...aku buto galak solahe lunjak-lunjak (tingkah sulit
diduga)". Energik. Perhatikan kalung tali warna hitam dan kuning yang terjurai
ke bawah dari leher. Itu simbol kesaktian.

Lurah prajurit prajineman selalu tampil unik dan lucu
Kalau Lurah unik, anak buah juga lucu. Selendang tali merah putih itu juga
simbol kesaktian. Maknanya berani karena benar.

Ada prajurit wanita diantara mereka
Prajurit wanita bersenjata pedang pendek, memakai ikat kepala
seperti  laki-laki dan berbaju lurik.

Selain golok, prajurit laki-laki juga bersenjata pecut sakti. Mungkin ada
korelasi kesaktian antara Soreng-Jathilan dan Reog Ponorogo.

Dalam pertempuran itu akhirnya gen buto harus kalah.
Seperti dalam kehidupan yang jahat akhirnya harus musnah.

Lain Soreng lain dengan Kethek Ogleng dari Wonogiri Jawa Tengah. Kethek Ogleng dipetik dari tokoh Ramayana, Hanoman si kera putih. Hanya saja di seni tradisi ini, Hanoman bukan lagi pahlawan tapi berubah menjadi kera jenaka dengan segala tingkah akobatik nya. Kethek ogleng ini menghibur dan membuat tertawa.
Inilah wajah kethek itu. Tidak ganteng!
Kera harus terampil memanjat.
Akrobatik
Dasar kera dimanapun tidak kenal sopan santun.
Lepas ke tengah penonton.
Usil mencuri adalah ciri khas kera, kali ini dia dapat tas penonton.
Pada cerita Ramayana, tokoh kerajaan Alengka ini termasuk yang harus
di kalahkan oleh Hanoman si kera putih.

Tak pelak lagi dalam tradisi itu, semua yang ber gen buto harus bisa dikalahkan. Simbol disharmonisasi itu bisa dilihat dari asesoris dan tingkah laku yang menyertainya. Tanda-tanda disharmonisasi itu kalau diberi kepercayaan dia tidak amanah, kalau berjanji mengingkari dan kalau membeli tidak mau membayar...?!

 Just Relax!

Rabu, 25 April 2012

Green Canyon


Awalnya saya tidak akan menuliskan perjalanan  antara Benteng Pendem Cilacap-Pangandaran dan Green Canyon di Cijulang Jawa Barat, tapi karena antara Cilacap menuju ke Pangandaran pada ruas jalan setelah Kawunganten sampai Kalipucang kondisi jalannya menyerupai medan off road, (Kondisi Agustus 2010, mungkin kondisi sekarang sudah baik, saya belum kesana lagi) terutama 8 sampai 12 km sebelum Kalipucang dari arah Kawunganten, (kabar baru yang dibawa rombongan rekan awal bulan Juli 2013 ini   yang mengikuti jejak ke cilacap - Pangandaran menyatakan kondisi rusak parah masih terjadi bahkan sudah mulai sejak dari Cilacap) setelah Sidareja maka sebagai kenangan dan peringatan kepada pembaca atau siapa saja yang akan ke Pangandaran lewat jalur selatan harap siap-siap badan pegal dan pusing apalagi setelah sebelumnya sudah melakukan perjalanan jauh. Setidak-tidaknya sampai tulisan ini dibuat kondisi jalan hancur karena tidak kuat menanggung beban kendaraan berat.
Setelah melihat-lihat benteng Pendem di Teluk Penyu Cilacap, dengan Toyota Avansa kami menuju ke Pangandaraan. Perjalanan Cilacap kota ke Kawunganten boleh dikata lancar meski jalan mendekati Kawunganten ada yang rusak dan naik turun pegunungan menyusur hutan dikanan kiri jalan selama 45 menit tapi lancar-lancar saja.
Sepanjang jalur Kawunganten ke Kalipucang harap hati-hati, selain jalan sempit dan ramai, lubang menganga bisa tiba-tiba menyergap pengendara. Pengendara sepeda motor sampai daerah Pangandaran suka berjalan cepat, tapi bagi mereka mungkin sudah terbiasa naik turun gunung dan jalan hancur. Perhatian spesial jika hujan sebaiknya tidak melewati Kalipucang-Sidareja. Kolam di jalan raya bisa bikin macet kendaraan. Kalau punya nyali lewat jalan itu dimalam hari tentu asyik, sambil bergoyang-goyang bisa memuaskan jiwa petualang. Hati-hati saja!
Membandingkan Pantai Pangandaran dengan Green Canyon di Cijulang memang tidak bisa. Selain jenis obyeknya berbeda juga nilai turismenya lain. Di Green Canyon meski ada juga bule yang disana tetapi lebih mendekati wisata minat khusus, karena untuk sampai di gua Green Canyon harus menyewa perahu untuk menelusuri sungai. Sedang Pangandaran lebih merupakan wisata terbuka. Kalau anda pernah melihat film Jurassic Park the Lost World, maka seperti itulah Green Canyon cuma tidak ada Dinisaurus disitu.

Inilah beberapa foto itu:

Pintu masuk ke Green Canyon

Naik perahu seperti ini  menyusur sungai

Kalau musim kemarau air sungai ini hijau tosca warnanya.

Diantara tebing menghijau penuh pohon

Lost world

Air terjun

Kira-kira perlu waktu 30 menit untuk sampai ke tujuan

Sayang ketika mencapai Green Canyon kondisi sungai nampak air pasang karena hujan di balik  gunung sehingga tidak bisa mendarat tepat di pulau yang dituju, arus bawahnya cukup kuat. Ketika pengemudi perahu menyarankan memakai baju pelampung dan berenang ketempat tujuan saya langsung menggelengkan kepala tanda tidak setuju dan menyarankan pulang saja ketempat penyeberangan awal. Sebagai orang yang dulu selalu menyeberang Bengawan Solo selama lima tahun menuju tempat kerja, saya jadi tahu karakter air sungai berdasar tanda-tandanya. Hari itu air sungai di Green Canyon nampak berarus kuat kecoklatan dan banyak sangkrah atau sampah potongan kayu.

 Just Relax!



Senin, 23 April 2012

Sukuh dan Cetho

Terus terang baru sempat kali ini saya mengunjungi candi Sukuh dan candi Cetho di Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Candi kecil yang penuh kontroversi. Sukuh digolongkan pada jenis candi Hindu-Jawa karena ada Lingga dan Yoni disitu. Terletak pada ketinggian 910 m (3000ft) disisi barat Gunung Lawu, udaranya terasa sejuk. Pertama kali ditemukan tahun 1815 oleh Jhonson, staff Thomas Stamford Raffles Gubernur Hindia Belanda waktu itu. Tapi saya yakin dia hanya diberi tahu oleh penduduk lokal disitu. Kemudian diteliti lebih lanjut oleh Van der Vlis seorang arkeolog Belanda di tahun 1842. Sedang pemugaran pertama kali pada tahun 1928. Hanya seperti yang sudah banyak diketahui oleh banyak orang Sukuh memang saru. Terlepas dengan apapun filosofisnya tetapi pahatannya sangat vulgar dan membuat malu. Senang atau tidak senang tapi itulah Sukuh.
Kalau ingin ke candi sukuh ambil jalan dari Solo yang menuju ke Tawangmangu dan ikuti saja petunjuk arah ke candi tersebut atau tanya saja orang, jangan kawatir tak bakal sesat di jalan.

 Dengan lebar pintu seperti ini bisa diduga sulit dilalui orang berbadan besar.
Jadi dulu penghuninya kecil saja badannya. Gate di candi Sukuh.

Petikan cerita Murwakala, yang berpakaian hanya para pembesarnya saja. Juga perhatikan ada peserta yang nakal dengan menengok kebelakang!

    Kepalanya hilang, kemana harus membuat rujukan? Anunnaki, Haggadah atau Jatayu?

Pemandangan dari candi Sukuh, indah juga!

Diduga masih sezaman dengan candi Sukuh, Candhi Cetho terletak 12 km kearah barat utara Sukuh dan letaknya diatas bukit. Naik turun bukit melalui perkebunan Teh dan ketika sampai di Cetho memang pemandangan nampak cetho (jelas). Candi ini sebenarnya mirip pesanggrahan saja. Anda bisa membandingkan dengan candi Boko di selatan candi Prambanan Yogyakarta. Cetho sudah dipugar sekitar tahun 1970an oleh salah satu staf presiden Soeharto waktu itu. Diragukan keasliannya seperti yang terlihat sekarang. Pintu-pintu candi lebih mirip dengan pura yang ada di Bali.
Sulit membayangkan waktu itu bagaimana caranya membangun situs ditempat seperti ini. Sekarang saja jalannya meliuk-liuk ditepi perbukitan. Waktu itu tentunya masih berupa alas gung liwang-liwung atau hutan belantara yang sulit ditembus manusia. Mungkin para pembuatnya pada terbang yaa...
Foto-foto ini mugkin bisa memberi gambaran bagi yang ingi kesana:

 Pemandangan dari Cetho. Banyak Kabel dan antene membuat tidak asri.

Ini bukan ornamen patung orang Jawa tapi malah mirip dengan gambaran orang Sumeria zaman dulu. Kesasar sampai Jawa mungkin atau ada tangan iseng meletakan disitu ketika direhab tahun 1970an yang lalu?

Sempit, bukan untuk orang tinggi besar.


Bandingkan dengan pintu di Candi Boko.


Just Relax!