Sebuah candi berdiri di suatu tempat tidak bisa kita artikan hanya sebuah bangunan di situ. Tetapi harus kita lihat dengan kesatuan kehidupan yang ada pada saat itu sebagai suatu kesatuan tata kehidupan bersama-sama. Itu yang terjadi ketika saya dengan santai mengunjungi candi Sojiwan yang terletak di dusun Sojiwan, Kebondalem kidul, kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. kita-kira 2 km selatan candi Roro Jonggrang atau Prambanan yang terkenal itu.
Candi Sojiwan tergolong kecil saja, bisa dibandingkan dengan candi-candi Gedhong Songo di pegunungan Telamaya, utara Ungaran Jawa Tengah. Kira-kira seperti itulah besarnya. Tetapi yang menarik perhatian adalah candi Sojiwan ini berada pada satu kumpulan candi yang berserakan mulai dari candi Plaosan diutara Prambanan, diikuti candi-candi lain yang masih berantakan, kemudian candi Prambanan sendiri, Ratu Boko, ke selatan dan tenggara ada candi Barong, candi Banyuniba dan candi Ijo. Suatu komplek percandian mirip perkotaan yang sangat luas dan besar, luar biasa!
Belum lagi kalau kita bayangkan barisan candi mulai dari sekitar Temanggung tempat ratu SimHa, Gedhong Songo, keselatan sampai pusat pemerintahan Mataram Lama yang melingkari lereng kaki gunung Merapi, Borobudur sampai Sleman, (bahkan di komplek kampus UII ditemukan candi!), melingkar kaki Merapi keselatan seperti sabuk raksasa sampai Prambanan dan Sojiwan seperti di atas. Jelas merupakan suatu tata kehidupan yang makmur dan amat luas.
Yang mungkin terasa agak aneh adalah komplek percandian itu tidak pernah berkembang ke selatan mengarah kota Yogyakarta. Perlu studi Stratigrafi kegunung apian untuk memahami keadaan tanah waktu itu. Mengingat kota Yogyakarta pada masa-masa itu di sana-sini masih banyak genangan air sebagai akibat pengangkatan tanah di pegunungan Selatan dan bukit Menoreh. Studi geologi berhasil mengetahui kalau masa aktif Merapi terjadi pada abad 1-3, abad 5-6, abad 12-15 dan masa aktif Merapi abad 16 - 17 telah mengeringkan air di wilayah Borobudur dan Gantiwarno Klaten dan tentu saja beberapa cekungan di Godean dan Yogyakarta, bahkan di Kalibayem Yogyakarta sampai pada 320 tahun yang lalu masih berupa genangan air yang besar. Karena itu bisa diduga kalau perseberan candi tidak pernah mengarah keselatan tetapi melingkari kaki gunung Merapi. Setidaknya seperti itu yang tampak sekarang. Entah kalau besok ditemukan bukti lain.
Yang mengejutkan tentang candi Sojiwan adalah adanya fakta sejarah prasasti Rukam bertahun 829 Saka (907 M) yang saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, disebutkan tentang peresmian restorasi desa oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana. Sebelumnya desa itu memang hancur oleh letusan gunung berapi. Sebagai imbalannya, penduduk dusun Rukam harus merawat sebuah bangunan suci yang terletak di Limwung. Bangunan suci ini diidentifikasi sebagai Candi Sajiwan, sedangkan nama pelindung kerajaan yang disebutkan dalam prasasti ini : Nini Haji Rakryan Sanjiwana, diidentifikasi sebagai Ratu Pramodhawardhani, nama Sajiwan diyakini di dedikasikan untuknya. Candi ini dibangun antara 842-850 M, kira-kira dibangun di era yang sama dengan Candi Plaosan di utara Prambanan.
Candi Sajiwan ditemukan kembali pada tahun 1813 oleh Kolonel Colin Mackenzie, Staf zaman Sir Stamford Raffles. Dia meneliti peninggalan arkeologis di sekitar Prambanan dan menemukan kembali reruntuhan tembok yang mengelilingi candi Sojiwan. Tapi yang seperti ini saya ragu, paling-paling Mackenzie hanya dapat laporan atau berita dari masyarakat bahwa di sana ada reruntuhan candi, lantas mental penjajah merasukinya dan mengubah kebenaran. Walahualam bisawab.
Berikut ini beberapa foto candi Sojiwan dan Banyuniba (harap diketahui nama-nama ini adalah nama dusun):
|
Candi Sojiwan dilihat dari pintu masuk | |
|
|
|
Salah satu relief yang masih utuh | |
|
|
|
Pintu masuk candi Sojiwan, yang kanan asli- yang kiri? |
|
Candi Bahyuniba, atapnya mirip bunga Teratai |
|
|
Sepi dan indah | |
Just Relax!