Rabu, 25 April 2012

Green Canyon


Awalnya saya tidak akan menuliskan perjalanan  antara Benteng Pendem Cilacap-Pangandaran dan Green Canyon di Cijulang Jawa Barat, tapi karena antara Cilacap menuju ke Pangandaran pada ruas jalan setelah Kawunganten sampai Kalipucang kondisi jalannya menyerupai medan off road, (Kondisi Agustus 2010, mungkin kondisi sekarang sudah baik, saya belum kesana lagi) terutama 8 sampai 12 km sebelum Kalipucang dari arah Kawunganten, (kabar baru yang dibawa rombongan rekan awal bulan Juli 2013 ini   yang mengikuti jejak ke cilacap - Pangandaran menyatakan kondisi rusak parah masih terjadi bahkan sudah mulai sejak dari Cilacap) setelah Sidareja maka sebagai kenangan dan peringatan kepada pembaca atau siapa saja yang akan ke Pangandaran lewat jalur selatan harap siap-siap badan pegal dan pusing apalagi setelah sebelumnya sudah melakukan perjalanan jauh. Setidak-tidaknya sampai tulisan ini dibuat kondisi jalan hancur karena tidak kuat menanggung beban kendaraan berat.
Setelah melihat-lihat benteng Pendem di Teluk Penyu Cilacap, dengan Toyota Avansa kami menuju ke Pangandaraan. Perjalanan Cilacap kota ke Kawunganten boleh dikata lancar meski jalan mendekati Kawunganten ada yang rusak dan naik turun pegunungan menyusur hutan dikanan kiri jalan selama 45 menit tapi lancar-lancar saja.
Sepanjang jalur Kawunganten ke Kalipucang harap hati-hati, selain jalan sempit dan ramai, lubang menganga bisa tiba-tiba menyergap pengendara. Pengendara sepeda motor sampai daerah Pangandaran suka berjalan cepat, tapi bagi mereka mungkin sudah terbiasa naik turun gunung dan jalan hancur. Perhatian spesial jika hujan sebaiknya tidak melewati Kalipucang-Sidareja. Kolam di jalan raya bisa bikin macet kendaraan. Kalau punya nyali lewat jalan itu dimalam hari tentu asyik, sambil bergoyang-goyang bisa memuaskan jiwa petualang. Hati-hati saja!
Membandingkan Pantai Pangandaran dengan Green Canyon di Cijulang memang tidak bisa. Selain jenis obyeknya berbeda juga nilai turismenya lain. Di Green Canyon meski ada juga bule yang disana tetapi lebih mendekati wisata minat khusus, karena untuk sampai di gua Green Canyon harus menyewa perahu untuk menelusuri sungai. Sedang Pangandaran lebih merupakan wisata terbuka. Kalau anda pernah melihat film Jurassic Park the Lost World, maka seperti itulah Green Canyon cuma tidak ada Dinisaurus disitu.

Inilah beberapa foto itu:

Pintu masuk ke Green Canyon

Naik perahu seperti ini  menyusur sungai

Kalau musim kemarau air sungai ini hijau tosca warnanya.

Diantara tebing menghijau penuh pohon

Lost world

Air terjun

Kira-kira perlu waktu 30 menit untuk sampai ke tujuan

Sayang ketika mencapai Green Canyon kondisi sungai nampak air pasang karena hujan di balik  gunung sehingga tidak bisa mendarat tepat di pulau yang dituju, arus bawahnya cukup kuat. Ketika pengemudi perahu menyarankan memakai baju pelampung dan berenang ketempat tujuan saya langsung menggelengkan kepala tanda tidak setuju dan menyarankan pulang saja ketempat penyeberangan awal. Sebagai orang yang dulu selalu menyeberang Bengawan Solo selama lima tahun menuju tempat kerja, saya jadi tahu karakter air sungai berdasar tanda-tandanya. Hari itu air sungai di Green Canyon nampak berarus kuat kecoklatan dan banyak sangkrah atau sampah potongan kayu.

 Just Relax!



Senin, 23 April 2012

Sukuh dan Cetho

Terus terang baru sempat kali ini saya mengunjungi candi Sukuh dan candi Cetho di Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah. Candi kecil yang penuh kontroversi. Sukuh digolongkan pada jenis candi Hindu-Jawa karena ada Lingga dan Yoni disitu. Terletak pada ketinggian 910 m (3000ft) disisi barat Gunung Lawu, udaranya terasa sejuk. Pertama kali ditemukan tahun 1815 oleh Jhonson, staff Thomas Stamford Raffles Gubernur Hindia Belanda waktu itu. Tapi saya yakin dia hanya diberi tahu oleh penduduk lokal disitu. Kemudian diteliti lebih lanjut oleh Van der Vlis seorang arkeolog Belanda di tahun 1842. Sedang pemugaran pertama kali pada tahun 1928. Hanya seperti yang sudah banyak diketahui oleh banyak orang Sukuh memang saru. Terlepas dengan apapun filosofisnya tetapi pahatannya sangat vulgar dan membuat malu. Senang atau tidak senang tapi itulah Sukuh.
Kalau ingin ke candi sukuh ambil jalan dari Solo yang menuju ke Tawangmangu dan ikuti saja petunjuk arah ke candi tersebut atau tanya saja orang, jangan kawatir tak bakal sesat di jalan.

 Dengan lebar pintu seperti ini bisa diduga sulit dilalui orang berbadan besar.
Jadi dulu penghuninya kecil saja badannya. Gate di candi Sukuh.

Petikan cerita Murwakala, yang berpakaian hanya para pembesarnya saja. Juga perhatikan ada peserta yang nakal dengan menengok kebelakang!

    Kepalanya hilang, kemana harus membuat rujukan? Anunnaki, Haggadah atau Jatayu?

Pemandangan dari candi Sukuh, indah juga!

Diduga masih sezaman dengan candi Sukuh, Candhi Cetho terletak 12 km kearah barat utara Sukuh dan letaknya diatas bukit. Naik turun bukit melalui perkebunan Teh dan ketika sampai di Cetho memang pemandangan nampak cetho (jelas). Candi ini sebenarnya mirip pesanggrahan saja. Anda bisa membandingkan dengan candi Boko di selatan candi Prambanan Yogyakarta. Cetho sudah dipugar sekitar tahun 1970an oleh salah satu staf presiden Soeharto waktu itu. Diragukan keasliannya seperti yang terlihat sekarang. Pintu-pintu candi lebih mirip dengan pura yang ada di Bali.
Sulit membayangkan waktu itu bagaimana caranya membangun situs ditempat seperti ini. Sekarang saja jalannya meliuk-liuk ditepi perbukitan. Waktu itu tentunya masih berupa alas gung liwang-liwung atau hutan belantara yang sulit ditembus manusia. Mungkin para pembuatnya pada terbang yaa...
Foto-foto ini mugkin bisa memberi gambaran bagi yang ingi kesana:

 Pemandangan dari Cetho. Banyak Kabel dan antene membuat tidak asri.

Ini bukan ornamen patung orang Jawa tapi malah mirip dengan gambaran orang Sumeria zaman dulu. Kesasar sampai Jawa mungkin atau ada tangan iseng meletakan disitu ketika direhab tahun 1970an yang lalu?

Sempit, bukan untuk orang tinggi besar.


Bandingkan dengan pintu di Candi Boko.


Just Relax!

Sabtu, 21 April 2012

The World From Mangunan




Mangunan seperti dunia lain. Agak berlebihan memang tetapi yang indah-indah bisa kita temukan di kebun buah Mangunan, kabupaten Bantul, Yogyakarta, khususnya pemandangan dan magis. Magis? Lihat saja fotonya nanti!
Mangunan adalah salah satu tempat diatas sesar Opak dikawasan Karst yang membentang di pegunungan Kidul Yogyakarta, dilewati sungai Oyo yang tak pernah kering. Melihat susunan batuannya jelas dulu merupakan dasar laut yang terangkat keatas membentuk lembah dan ngarai yang menawan.
Kebun buah Mangunan bisa ditempuh melalui jalur terminal bis Giwangan Yogyakarta, terus lurus ke selatan mengikuti jalur jalan sampai mentok di Kecamatan Imogiri, belok ke kiri mengambil jurusan ke Dlingo, ikuti jalan naik turun pegunungan dengan hutan dikanan-kiri dan kalau bingung tanya orang saja disana, dijamin sampai.
Inilah foto-foto itu:

 Lembah sungai Oyo dari Mangunan

Pengunjung kebun buah Mangunan

 Kelokan lembah sungai Oyo

Lembah Karst pegunungan selatan Yogyakarta

Foto-foto berikut memerlukan sedikit konsentrasi, lihat saja no tricks no edit:
1. Posisi awal

Perhatikan ada "akar pohon" melewati bahu orang yang berbaju biru (berdiri kiri)

2. Sudut pengambilan gambar digeser sedikit ke kiri untuk mengambil wajah wanita:

Kini "akar pohon" menjulur lebih panjang melewati bahu orang yang berkaos coklat

3. Masih tak percaya?:

Sudut kamera digeser berputar 90 derajat, tak ada "akar pohon" tampak disitu.

4. Masih tak yakin? Kini pengambilan gambar dijauhkan sehingga sudut pandang lebih lebar:

 Bersih tak ada "akar pohon", Walahualam bissawab.

 Just Relax!

Jumat, 20 April 2012

Chabatz D’Entrar




Ini memang agak lain, ketika saya melihat Olivier Leger, Cyrile Tille, Damien Caufepe dan penata teknis Silvere Bartoux beraksi mempertunjukkan kemampuannya baru-baru ini di panggung terbuka P4TK Jalan Kaliurang KM 12.5 Sleman Yogyakarta. Chabatz D’Entrar tergolong unik beraksi bagai sirkus tetapi semua seting ditata seperti pertunjukan seni teater. Gerak tubuh, mimik maupun pesan pertunjukannya lebih mendekati seni teater daripada sirkus. Lantas karena itulah mungkin kemudian disebut sirkus kontemporer. Chabatz d’etrar datang dari Limousin Perancis seperti membawa suatu yang baru dalam seni pertunjukan.
Menampilkan 9 sekuen cerita pendek diselingi kisah humor malam itu sangat dinikmati para penonton yang terdiri dari anak-anak muda,  mahasiswa dan orang-orang tua. Sampai pertunjukan berakhir mereka masih bertahan menonton. Foto berikut ini sedikit bisa memberi gambaran:

 Gerak keseimbangan

 Memang sirkus


 Kostumnya pakaian sehari-hari

 Humor sepatu

Matematis

Just relax!