Minggu, 28 Desember 2014

Lava Tour


Membayangkan seberapa besar truk pengangkut pasir dilihat dari atas tebing Kali Gendol di puncak lereng gunung Merapi? Sebesar kotak korek api, betul - betul sebesar kotak korek api! Lantas sekarang terbayang seberapa tinggi tebing dari dasar sungai, seberapa lebar dari tebing ke tebing di sebelah sana dan seberapa besar volume material yang dapat di tampung. Tentu besar sekali. Meskipun demikian ketika terjadi erupsi gunung Merapi di tahun 2010 yang lalu, sungai itu dipenuhi material pasir dari kawah Merapi sehingga datar dengan puncak tebing bahkan di beberapa tempat malah terjadi gundukan sisa lava dan ada batu sebesar tronton yang menggelinding menyeberangi sungai Gendol dari tebing sebelah sana lantas teronggok begitu saja disisi tebing di sebelah sini. Para pelaku pariwisata menawarkannya dengan nama batu Alien karena memang ada lekukan batu yang mirip wajah asing. Kalau saya sendiri lebih suka memperhatikan alur lekukan batu yang terpahat di batu itu yang menunjukkan ketika batu itu masih lunak dan terpuntir pada satu arah kemudian membeku dan keras seperti batu!

Struktur awalnya lembek
Perhatikan alur garisnya

Terlontar dari kawah dalam bentuk lunak kemudian 'bleg' mendarat dan tertekan beratnya sendiri atau menggelinding dalam bentuk utuh ?
Perhatikan alur retakan batu sebesar tronton ini yang berada di dusun Jambu.
Alur sungai Gendol secara keseluruhan panjangnya bisa mencapai 20 an km dan ujung bawahnya akan menyatu dengan kali Opak. Awan panas yang merambat melalui sungai Gendol saat itu mencapai 14 km dan membakar habis beberapa dusun di daerah Bronggang. Tentu banyak korban.

Diujung sana gunung Merapi tertutup kabut
Alur dan tebing Gendol yang telah berubah

Pada awal-awal selesai erupsi dulu saya pernah mengunjungi sejumlah  daerah bencana Merapi seperti daerah Kinahrejo, Jambu, Petung dan Balerante. Waktu itu sungguh waktu yang sulit untuk menggambarkan suasana   tidak ada  apa -apa kecuali sedikit tanda-tanda kehidupan di daerah yang terkubur material Merapi itu. Semua menjadi padang tandus sulit menentukan arah karena semua habis tak bersisa.
                                                                      
Penuh batu dan pasir
Tempat perkemahan yang hancur
Kini setelah 5 tahun saya kembali mengunjungi daerah yang dulu pernah saya lalui dan pohon sudah mulai rimbun tapi ada satu lokasi yang saat ini tetap tandus penuh batu dan pasir, daerah yang dulu pernah saya gunakan mendirikan tenda-tenda perkemahan bersama siswa-siswa sebuah SMA, tepatnya di sebelah atas bunker Merapi. Disini  malam  dingin bisa menyergap tiba-tiba dan kita terpaksa menyalakan kompor di dalam tenda atau  membakar batu bara di depan tenda kita yang tipis. Saya menduga suhu dingin itu bisa jatuh di bawah 11 derajat Celsius maklum posisinya hanya tinggal 4 km dari puncak Merapi.

Kalau saat ini anda ingin pergi ke sana saya sarankan mengikuti saja Lava Tour yang bisa didapatkan di pos terdekat selain praktis juga ada nuansa jelajah alamnya. Asik karena anda bisa naik Willys 4WD sisa perang dunia II yang masih perkasa menjelajah lereng Merapi dan anda akan di bawa ke titik titk tertentu yang merupakan kenangan korban erupsi Merapi. Ini beberapa contohnya:

Terbakar awan panas
Terbakar awan panas

Sapi yang terbakar menyisakan rangka
Teko dan cangkir yang tersisa


Lava tour


Dilihat dari bekas bumi perkemahan



Ingat serial cerita sinetron TV beberapa waktu yang lalu, dari sudut ke sudut dari lembah ke lembah dari batu ke batu saya lalui, eh.. ternyata masih kosong?! Kemana 'mak Lampir' perginya? Merapi terkenal mistis tetapi setelah erupsi 2010 itu semua terasa kosong. Butuh penjelasan lebih lanjut....


Just relax!

Selasa, 18 November 2014

Srigati

Srigati, nama tempat spiritual di Ngawi Jawa Timur terletak di kawasan hutan Ketonggo kurang lebih 4 km kearah timur dari jalan raya Paron-Jogorogo dihitung dari pasar Gentong Paron. Dua kali saya kesana. Sebelumnya saya belum pernah kesana. Kali yang pertama sekitar akhir Oktober 2014, gagal total. Setiap kali bertanya kepada seseorang jawabannya selalu salah memberi arah dan tanda sehingga saya hanya berputar-putar tak tentu arah. Kali yang ke dua inipun seseorang keliru memberi arah, tetapi berbekal pengalaman perjalanan yang pertama akhirnya bisa saya temukan walaupun harus berputar-putar. Aneh!
Alas Ketonggo sebenarnya sudah saya dengar keberadaannya sejak tahun 80an, tapi nama Srigati belum eksis seperti sekarang ini. Sebagai tempat spiritual tempat ini selalu saja ada yang berkunjung. Menurut Mbah Mardji, juru kunci Srigati, khususnya di bulan Suro (Muharam) selalu ramai dikunjungi orang. Ketika saya tanya untuk apa mereka kesini, Mbah Mardji menjelaskan bahwa mereka mempunyai hajat atau keinginan yang bermacam-macam,
Sebagian masyarakat Nusantara, khusunya Jawa, memang dalam kehidupan sehari-hari meyakini adanya suatu rasa spiritual dalam dirinya. Perasaan ini kebanyakan ada dikalangan penganut Kejawen, suatu keyakinan spiritual yang cara pandang dan cara hidupnya dipengaruhi tata cara tradisi Jawa pra Islam. Kebanyakan mereka adalah para priyayi tradisional dan mereka  umumnya mengaku beragama Islam.
Kejawen ini mencoba menyatukan alam kodrat dengan Adi kodrati, sehingga tercapai satu kesatuan kehendak harmonis dan setelah itu berusaha menyerahkan diri kepada Sang Khalik secara total. Dalam usaha pencapaiannya itulah mereka menemukan tempat-tempat yang dianggap sakral yang pernah dipergunakan atau disinggahi oleh para ahli-ahli spiritual pada masa sebelumnya. Umumnya yang menjadi patokan adalah para Raja atau abdi dalem keraton pada masa-masa akhir Majapahit, Demak. Pajang dan Mataram Islam dan jangan lupa para wali penyebar agama Islam di Jawa.
Tapi uniknya Srigati ini malah menyimpan legenda adanya seorang pertapa bernama Srigati yang nantinya menurunkan raja-raja besar seperti raja-raja dari kerajaan Sigaluh dan Pajajaran di Jawa Barat serta raja-raja Majapahit.Walahualam! Tentu para ahli sejarah harus mengernyitkan dahi dan berpikir keras atas cerita legenda ini.

Gerbang Srigati
Tempat persinggahan Noyo Genggong dan Sabdo Palon di Srigati
Yang unik, Srigati ternyata menyimpan beberapa cerita legenda masa lampau. Contohnya Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Legenda ini berkaitan dengan tanda-tanda alam. Anda bisa membacanya disini!

Isi rumah Noyo Genggong dan Sabdo Palon di Srigati. Ada bekas pemujaan,
2 botol minyak wangi, dupa, menyan, bunga dan kotak amal disitu.

Konon katanya, Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia pernah
singgah disini! Tanpa prasasti
.
Ini disebut pesanggrahan Kori Gapit, tempat makam eyang Singo Menggolo.
Nama Singo Menggolo diduga adalah Damar Wulan yang mempunyai tanah Magersari di desa Baluk Kecamatan Karangrejo Magetan. Tetapi nama Damar Wulan ini bisa berbeda dengan Serat Damarwulan yang juga mengisahkan tentang Damarwulan yang mengalahkan Minak Jinggo. Walahualam!

Tempuran Srigati, bertemunya 2 sungai dari gunung Lawu dan sungai hutan Ketonggo,
tempat favorit pengunjung.
Tempuran Srigati ini wingit dan penuh misteri. Tempat yang selalu dituju oleh para pengunjung di Srigati. Menurut Mbah Marji, jika anda mandi ditempuran ini bisa menghilangkan aura buruk akibat ilmu hitam.

Jalan tangga naik-turun di tempuran Srigati. Anda harus sehat untuk naik
dan melintasi tangga ini.
Anda mungkin tidak percaya kalau tempat ini dinamakan Tugu Emas.
Tidak ada emasnya hanya batu bertumpuk.
Tugu emas, Tempuran dan Umbul Jambe adalah 3 tempat favorit pengunjung Srigati. Di Tugu emas masih menyisakan bekas-bekas pemujaan berupa Dupa. Kemenyan dan Bunga. Sulit dipercaya apa sebenarnya yang ada dalam pikiran para pemuja terhadap harapan yang ingin dicapainya.

Para pengunjung malah berfoto ria di altar pemujaan. Kenapa ya?
Ketika saya ditawari untuk menuju Umbul Jambe yang jaraknya tingal 3 km saya langsung bertanya bisa naik mobil tidak? Wah..tidak bisa..jalan menuju kesana gronjal naik turun. Saya memilih tidak kesana saja.
Sore itu juga saya menuju Waduk Pondok yang jaraknya 15 km di timur Ngawi. Tidak banyak yang tahu di Waduk Pondok ada tempat indah yang bisa digunakan untuk membuka mata hati. Kalau anda beruntung anda bisa melihat sinar-sinar hijau dan merah kuning berterbangan disekitar anda. Yang ini juga walahualam!

Tenang, indah dan misterius.

Batu ini ditinggalkan alat pengeruknya. Didiamkan begitu saja entah ada apa!


Just relax!

Minggu, 09 November 2014

Sangiran Sekarang

Sangiran terus berkembang bahkan sekarang telah mempunyai empat buah klaster baru yang berada diseputar museum purbakala Sangiran pusat di Krikilan, Kalijambe, Sragen.
Klaster Dayu sangat menantang untuk dijelajah. Membentang luas dilembah Bengawan Solo. Uniknya di ujung bagian selatan museum ini ruang pamernya dikeruk kedalam dan di salah satu dindingnya berupa tanah yang berlapis-lapis dan saat tulisan ini dibuat masih ada fosil yang tertanam disitu. Belum jelas fosil apa.
Klaster Dayu menyimpan informasi lapisan tanah formasi Kabuh dan Grenzbank. Anda bisa melihat di anjungan yang disediakan secara riil on time. Diduga Sangiran dulu adalah sebuah bukit yang terkikis dan ambyar sehingga malah membentuk cekungan kedalam atau depresi dan terlihatlah sibakan tanah bebatuan berlapis-lapis yang mengandung fosil. Bahkan kabarnya kubah sangiran dulu berupa formasi Kalibeng yang terbentuk pada masa Pleistosen.
Klaster Dayu cukup luas antar bagian dihubungkan dengan anak tangga semen berundak. Bawalah air minum ketika menjelajah klaster ini. Ketika saya mengitari museum Dayu Kepala Museum Mr.Iwan yang ramah lulusan UGM 1985 juga membawa botol aqua di saku celananya. Anda harus sehat kalau mau tuntas mengelilingi klaster Dayu ini, tak perlu kawatir banyak gazebo dihalaman museum yang bisa dipakai istirahat. Bahkan ada musholla untuk sholat umat muslim.

Lembah yang indah di Klaster Dayu
Tentu yang dimaksud bukan semen untuk menempelkan tulisan itu
tapi tanah yang bergaris-garis itu
Keterangan itu menunjukkan museum Klaster Dayu dulu bekas dilalui sungai
Mr.Iwan menjelaskan fosil Dayu peliharaannya di anjungan selatan.

Dinding fosil dalam ceruk museum Klaster Dayu

Dari Dayu menuju museum Sangiran Klaster Bukuran melalui jalan Solo - Purwadadi masuk menuju kearah museum pusat Sangiran di Krikilan dan terus. Butuh waktu kira-kira 20 menit untuk sampai di Museum Purbalaka Bukuran. Berbeda dengan Klaster Dayu, Bukuran lebih banyak menampilkan displai museum yang sudah disentuh teknologi. Cocok untuk pengunjung individu atau kelompok kecil. Anda bisa membandingkan dengan Taman Pintar di kota Yogyakarta. Sedikit saja fosil asli yang bisa dilihat. Displai perkembangan evolusi manusia (bukan teori evolusi!) di tata dengan duplikat rangka manusia tetapi lebih nampak artifisial dari pada seni. Museum cukup luas dan ada tempat sholat.

Museum Purbakala Bukuran nampak depan
Formasi displai evolusi manusia di museum Bukuran.
Seperti  Rise of the Machines Terminator 3
Gambaran evolusi manusia, nampak artificial!
Formasi tanah di klaster Bukuran
Dari Bukuran menuju Klaster Manyarejo dekat saja tapi ada satu tanjakan yang harus hati-hati jika menggunakan mobil. Gampang saja, selesai tanjakan langsung belok kiri dan ikuti jalan beton sekitar 10 menit sampai. Manyarejo sudah masuk Kecamatan Plupuh, Sragen bukan lagi Kalijambe. Lahan parkir depan museum kurang ideal, jelas tidak ideal untuk parkir bus medium 33 seat. Harus berpikir ulang jika menggunakan bus. Nampaknya sekolah-sekolah lebih baik menggunakan mobil Van besar seperti Isuzu Elf atau bus mini. Displai museum klaster Manyarejo yang paling menarik adalah displai evakasi asli yang dibiarkan sebagai ajang kunjungan. Pengunjung bisa berimajinasi liar disitu. Misalnya mengapa fosil Banteng bisa berdekatan dengan fosil Gajah purba?

Gerbang masuk ke museum Manyarejo. Cukup sederhana.

Museum Manyarejo berada di puncak bukit, sehingga bisa melihat lanskap sekitarnya


Fosil kepala Banteng dibiarkan tergeletak untuk dilihat

Nampak lapisan tanah pada tiap kedalam tertentu
Siap menuju ke museum Sangiran Klaster Ngebung? Kendaran anda harus menembus hutan, pohon jati di kanan kiri dan jalan beton, santai saja karena lembah dikanan-kiri cukup indah untuk dinikmati. Kira-kira 15 menit sudah sampai di Ngebung. Halaman parkir luas. Ketika saya kesana suasana sepi karena sudah sore. Displai yang terpampang lebih banyak menggambarkan abad 19 atau awal abad 20 an.

Pintu depan museum Ngebung
Sisa fosil Gajah purba, tinggi dan besar, Bandingkan dengan tinggi pengunjung disebelahnya
Halaman parkir luas di klaster Ngebung
Dari Ngebung menuju museum Sangiran di Krikilan sekitar 20 menit, jalannya sudah tersambung rapi. Disarankan berhenti di gardu pandang. Anda bisa melihat hamparan luas situs sangiran. Tanah yang menyimpan misteri kehidupan di masa silam. Dasar lautan yang terangkat, tererosi, terdepresi, tertimbun material gunung Lawu dan mungkin juga Merapi di masa Pleosen tengah, awal dimulainya kehidupan Hominid. Herannya ketika menjelajah situs-situs purba itu saya kok tidak ketemu hantu? 
Lho apa hubungannya.....?

Just relax!

Senin, 13 Oktober 2014

WBL

Just for Kicks, pagi itu 12 Oktober 2014 saya meluncur menyeberangi jembatan Suramadu menuju ke pulau Madura. Saya pikir saya akan mengalami sensasi yang sama seperti ketika melewati Tol tengah laut di P.Bali, eh, ternyata meluncur saja 'adem ayem' seperti tidak ada sesuatu dan selesai begitu saja sampai diujung sana di tanah Madura. Mungkin karena jembatan Suramadu hanya lurus-lurus saja tanpa kelokan yang berarti sehingga kesan diterpa angin laut tidak terasa. Anda bisa membayangkan naik mobil atau motor atau bus dengan suara angin menerpa kaca di depan dahi kita.Werrzz...
Akhirnya putar balik menuju goa Maharani yang masih satu kawasan dengan Wisata Bahari Lamongan (WBL), sebuah kota di sebelah barat kota Gresik. Kembali menyeberangi jembatan Suramadu dan masuk Surabaya. Lalulintas padat dan panas, didalam kendaraan tak terasa karena ada AC tapi pemandangan gersang disepanjang perjalanan mengesankan musim kemarau yang belum segera barakhir. Sawah kering, tambak kering, rumput merangas. Memasuki Lamongan yang merupakan kota di ujung deretan pegunungan Kendeng utara disisi timur dapat di lihat sibakan pegunungan kapur. Kalau anda senang dengan advanturer itu merupakan pemandangan bagus.
Berbekal pengetahuan beberapa kali mengunjungi gua Gong di Pacitan Jawa Timur saya memasuki goa Maharani. Prinsip goa tentu sama ada stalagtit yang menggantung di atap gua dan stalagmit yang menonjol keatas dari lantai gua. Kadang ada pertemuan ujung dari dua keadaan itu sehingga membentuk tiang dan tentu saja ada sebuah dome ruang yang membentuk ruang goa.
Di goa Maharani tidak ada stalaktit yang bisa dipukul dan berbunyi Guuunnng seperti di goa Gong sehingga diberi nama Gong, yang ada adalah relief stalatit dan stalagmit yang diberi nama mengikuti bentuk stalagtit dan stalagmit. Entah mengapa pengelola goa Maharani lebih senang memberi nama bentuk dari pada memberi informasi ilmiah tentang struktur batuan, karena sebenarnya orang melihat isi goa ingin tahu informasi bagaimana bagian itu terbentuk dan berapa usianya atau mungkin sejarah goa itu. Inilah foto itu:

Wojo Yakso itu artinya Gigi Raksasa
Kenikir (nama tumbuhan) Gading (warna gading gajah)
artinya Pohon Kenikir yang berwarna kuning gading
  
Susunan dan warna stalagtit dan stalagmit yang sangat indah  
Apa terjemahannya?
Mungkin maksudnya akan memberi tahu bentuk badan hewan yang meruncing. Tapi entahlah, yang jelas kata itu diambil dari bahasa Jawa kuna. Di dome goa sisi yang lain dibentuk ruang pamer Gem Stone aneka warna yang didatangkan dari berbagai daerah bahkan dari luar negeri, di pikir-pikir malah menjadi tidak menyatu dengan isi goa Maharani.
 
Fosil hewan laut masa silam, terinsiparasi museum
Sangiran dan Trinil?
  
Fosil seperti ini juga bisa ditemui di Karangsambung,
Kebumen Jawa Tengah
 
Fosil kayu bisa juga ditemui di situs geologi Karangsambung
Kebumen Jawa Tengah

Secara umum goa Maharani terlepas dari cerita mimpi awal diketemukannya goa ini cukup bagus dan bersih. Hanya mungkin karena letaknya menyatu dengan kebun binatang (the Zoo) seakan terkesan sebagai hidangan yang disajikan dari pada bila terletak diluar di alam bebas yang lebih mengesan sebagai bagian alam. Walahualam.

Just Relax!